Assalamu'alaikum....
Bersyukurlah setiap pagi masih ada oksigen yang bisa kita hirup demi kelangsungan hidup kita. Coba bayangkan jika setiap bangun pagi, kita tidak bisa bernafas, tidak ada oksigen yang masuk ke dalam paru-paru. Itu berarti Allah masih sayang dengan kita, masih diberi kesempatan hidup di dunia, untuk menjadi manusia yang lebih baik dari waktu ke waktu. Memang tidak mudah menjadi manusia yang baik, tapi dengan kesabaran dan keteguhan iman, Insya Allah selalu ada jalan untuk mewujudkannya.
Ngomong-ngomong soal kesabaran, saya punya cerita yang mungkin bisa menginspirasi teman-teman, karena cerita ini juga menjadi inspirasi bagi saya, yang senantiasa menguatkan saya saat sedang terpuruk. Wajarlah, karena saya sendiri yang mengalaminya, hehe ;)
Dulu, sekitar tahun 2007, saya sangat kecanduan dengan yang namanya social game. Dari social game yang satu ke yang lain, saya dipertemukan dengan "kekasih semu". Kok semu?? Iya..semu, karena hanya bertemu lewat online, tanpa pernah bertemu secara langsung. Itu semua terjadi karena saya tinggal di Madiun, sementara "kekasih semu" saya tinggal di Singapura. Jauh kan?!
Selama dua tahun saya menjalani "hubungan semu" tersebut. Senang sih, cuma ada yang "hilang" dari hubungan kami, dan saya merasa tidak nyaman dengan itu semua. Hingga suatu hari, ada seorang teman yang mengenalkan saya dengan saudaranya, sebut saja namanya Astrid. Usianya lebih tua dari saya 5 bulan. Awalnya saya hanya berniat berkenalan saja, tanpa ada maksud membina hubungan yang lebih serius, karena saat itu saya masih berhubungan dengan "kekasih semu" saya. Perkenalan dengan Astrid pun terjadi, tepatnya pada 14 Februari 2009. Secara tidak sengaja, kok pas dengan Hari Valentine, hehe..
Seminggu kemudian kita mulai sering komunikasi, jalan bareng kalau ada kesempatan. Oya, profesi saya saat itu dan masih sampai sekarang adalah seorang penyiar radio. Kebetulan, mbak Astrid ini juga pendengar radio sejati, hahaha...
Tiga bulan kemudian, saya memberanikan diri untuk melamarnya. Dan lamaran saya diterima oleh kedua orang tuanya. Kenapa saya berani melamarnya? karena saat itu saya yakin kalau dia adalah jodoh saya. Dengan waktu perkenalan yang singkat, saya tidak peduli, karena niatan saya adalah menjalankan salah satu perintah agama saya, yaitu menikah. Dengan niatan yang baik, Insya Allah semua akan berjalan dengan baik. Tapi, ternyata tidak semua berjalan dengan lancar. Ada saja kejadian-kejadian yang menjadi ujian bagi keteguhan cinta kami.
Ujian pertama datang dari "kekasih semu" saya. Saya harus memberitahu dia kalau saya akan segera menikah. Meskipun saat itu saya masih mencintai dia, namun karena ada beberapa perbedaan, salah satunya keyakinan, terpaksa saya memutuskan hubungan dengannya. Awalnya dia tidak terima, tapi dengan penuh kesabaran, saya jelaskan alasan kenapa saya memilih untuk menikahi gadis lain, dan bukan dia. Dia pun akhirnya mengerti. Dan percakapan terakhir kami diiringi dengan uraian air mata. Dia menangis, begitu juga saya. Oke, we skip this :P
Ujian kedua, datang saat saya dan calon istri saya selesai fitting busana pernikahan, tepatnya pada 22 Mei 2009. Oya, tanggal pernikahan kami sudah ditentukan sebelumnya, yaitu tanggal 24 Juli 2009. Setelah fitting, kami berdua pulang ke rumahnya untuk makan siang bersama. Setelah makan siang, tiba-tiba dia merasa mual dan perutnya sakit bukan main. Saya sarankan untuk istirahat di kamar. Sore harinya saya antar dia ke dokter untuk periksa. Dokter bilang, calon istri saya menderita sakit maag. Saya pun percaya dengan perkataan sang dokter. Dalam benak saya, dua atau tiga hari sakitnya akan reda setelah minum obat.
Tapi, ternyata penyakitnya tidak kunjung sembuh juga, malah semakin parah. Dia meronta-ronta menahan sakit dalam perutnya. Bahkan dia merasa sudah tidak kuat lagi menahan rasa sakitnya. Dia merasa akan meninggal karena penyakitnya itu. Saya pun berusaha menguatkan hatinya. Berdoa di telinganya. Memotivasi dia untuk selalu kuat dan tegar melawan penyakitnya itu.
Seminggu, dua minggu, hingga satu bulan, penyakitnya tidak juga sembuh. Bahkan dia sempat rawat inap di rumah sakit. Anehnya, hasil diagnosa dokter di rumah sakit, tidak menunjukkan gejala-gejala yang aneh dalam perutnya, semua normal, bahkan kadar asam lambungnya pun juga normal. Apa yang sebenarnya terjadi dengan calon istri saya ini?? Berbagai obat mulai dari obat-obatan tradisional hingga obat resep dokter sudah dicoba, tapi tidak ada satu pun yang berhasil menyembuhkannya.
Saat itulah saya mulai ragu untuk menikahinya. Saya berpikir, apakah saya akan menikahi gadis sakit-sakitan sampai akhir hidup saya kelak?? Apakah selama hidup saya nanti akan terus menerus merawatnya?? Apakah saya kuat menjalani sisa hidup dengannya?? Itulah pertanyaan-pertanyaan yang mulai menghantui saya. Tapi dalam hati kecil saya, saya membulatkan tekad. Saya adalah laki-laki. Seorang laki-laki dinilai dari ucapan dan perbuatannya. Karena niatan saya baik untuk menikahinya dan menyempurnakan separuh agama saya, saya membulatkan tekad untuk terus menemaninya, dan saya yakin Allah akan membantu saya.
Suatu malam dia
ingin pindah kamar, karena saat itu dia terbaring di kamar ibunya,
sedangkan kamarnya sendiri memang berada di lantai dua. Waktu itu langsung saya gendong dia ke kamarnya di lantai dua agar dia bisa beristirahat lebih tenang.
Hampir setiap malam saya harus menemaninya, bahkan sampai tidur di rumahnya. Karena memang itulah permintaan dia. Waktu saya nongkrong dengan teman-teman, ngopi bareng, ngeband bareng teman-teman band saya, harus saya korbankan sedikit demi sedikit untuk menemaninya. Bagi dia, kehadiran saya di sisinya membuatnya semakin kuat dan sedikit menghilangkan rasa sakit dalam perutnya. Sepulang dari bekerja di sore hari, saya pulang ke rumah sebentar untuk makan malam, sholat Maghrib dan Isya' di rumah. Setelah itu saya berangkat ke rumahnya untuk menemaninya istirahat.
Setiap tengah malam, sakit dalam perutnya sering kambuh, cara meredakannya adalah dengan mengompres perut bagian lambungnya dengan air hangat, dan setiap malam saya yang melakukannya. Jika dia ingin buang air kecil, hal itu terpaksa dilakukan di dalam ember berisi air, karena kamar mandinya berada di lantai satu, sedangkan kamarnya berada di lantai dua, dia tidak kuat naik turun tangga setiap kali ingin buang air kecil. Keesokan paginya, saya rutin membuang air kencingnya di kamar mandi dan menggantinya dengan air yang baru.
Terkadang dia merasa lapar di malam hari, dan menu favoritnya adalah Nasi Goreng dan Kentang Goreng Mentega bikinan saya. Dengan terkantuk-kantuk, saya pun ke dapur rumahnya untuk membuatkannya nasi goreng atau kentang goreng. Ibunya kadang ingin membantu saya, tapi saya mencegahnya. Saya bilang kalau Astrid hanya mau nasi goreng mentega atau kentang goreng mentega bikinan saya. Ibunya pun memakluminya.
Pernah suatu malam, saat itu band saya sedang main di sebuah cafe. Saat kami sedang tampil, kakak dan tante calon istri saya melihat penampilan band saya. Setelah selesai tampil, mereka meminta saya untuk datang ke rumah calon istri saya. Begitu saya sampai di rumahnya, orang tua calon istri saya menceritakan apa yang terjadi malam itu. Ternyata malam itu calon istri saya meronta-ronta, berteriak-teriak seperti orang kesurupan dan terus menerus memanggil-manggil nama saya. Sampai-sampai orang tuanya memanggil "orang pintar" untuk menenangkannya. Saya bertanya kepada calon istri saya, apa yang dia rasakan saat itu?? Dia mengatakan kalau dia tidak sadar melakukan itu semua. Teriakannya terjadi di luar kesadarannya. Malam itu, saya kembali menemaninya beristirahat, di saat teman-teman band saya sedang nongkrong, bersantai di cafe itu.
Apakah saya ikhlas melakukannya?? Ya, saya ikhlas melakukannya. Karena saya yakin, ini adalah ujian bagi kami berdua menjelang pernikahan. Kalau kami kuat menjalaninya hingga hari H pernikahan, saya yakin semuanya pasti akan berakhir dengan indah. Selama dua bulan hal itu saya lakukan hampir setiap malam.
Hari H pernikahan pun tiba, 24 Juli 2009. Itu adalah hari Ijab Qabul kami. Apakah dia sudah sembuh? Belum. Dia masih tergolek lemas di atas tempat tidurnya. Make up pun dilakukan sambil dia berbaring. Dengan dibantu saudaranya, dia berjalan perlahan-lahan menuju ke tempat Ijab Qabul dilaksanakan. Kutatap dia dengan penuh rasa haru. Perjuangannya begitu berat selama dua bulan melawan sakit. Ijab Qabul pun dilaksanakan dengan mas kawin seperangkat alat sholat, tunai. Selesai mengucapkan Qabul, saya menangis tersedu-sedu. Air mata saya berurai dengan derasnya hingga membasahi kacamata saya. Perasaan senang, sedih, haru semua jadi satu, tanpa bisa terucap sepatah kata pun setelahnya.
Keesokan harinya, 25 Juli 2009, kami menggelar resepsi pernikahn di sebuah gedung pertemuan. Saat resepsi pun, istri saya belum sepenuhnya sembuh dari sakitnya. Sambil menahan rasa sakitnya, dia dengan tegar menyalami satu per satu tamu undangan yang hadir memberikan restunya. Bahkan kami sempat bernyanyi berdua. Lagu yang kita nyanyikan saat itu adalah lagunya Delly Rollies, Cinta Yang Tulus....
Beberapa hari setalah pernikahan, perlahan-lahan penyakitnya pun mulai sembuh. Enam bulan kemudian, istri saya dinyatakan hamil. Alhamdulillah...kami senang luar biasa. Penantian dan pengorbanan kami selama ini tidak sia-sia. 16 September 2010, putri pertama kami lahir ke dunia. Kami beri nama Haura Riski Alana, yang bermakna Bidadari Surga Pembawa Rizki dan Kedamaian. Bahkan, pada 28 Januari 2013 lalu, kami dikaruniai seorang putri lagi, anak kedua kami, namanya Farannisa Askana Alim, Wanita Yang Gembira Murah Hati dan Berilmu.
Sekarang hidup kami terasa lebih indah dengan dua putri yang cantik dan menggemaskan. Dan penyakit istri saya........?? Alhamdulillah tidak pernah kambuh lagi :)
Bersabarlah, semua pasti akan indahpada waktunya :)
Wassalamu'alaikum...
Abang Zen :)